Pages

Selasa, 01 Desember 2009

ISLAM DAN FILSAFAT ILMU

Oleh: Abdul Halik

A. Paradoks Kemajuan Ilmu dan Teknologi
Manusia dipandang memiliki kelebihan dari makhluk hidup yang lain. Salah satu kelebihan yang dimaksud adalah organ manusia yang dilengkapi dengan otak yang mampu berpikir. Dengan kemampuan berpikir tersebut, manusia memiliki akal. Salah satu produk penting dari akal pikiran manusia adalah logika yang berupa seperangkat gugusan kemampuan manusia dalam memahami, mengelola, mengembangkan dan mengevaluasi potensi yang dimilikinya. Dengan akal pikiran itu pula, manusia tidak saja mampu bertahan hidup dan memenuhi kebutuhannya, tetapi juga mengembangkan budaya dan peradabannya sebagai manusia (khalifah di bumi). Manusia mencapai kecemerlangan dan kejayaan hidupnya juga karena penggunaan maksimal dari akal pikiran yang dimilikinya.
Sejak dahulu, manusia menggunakan kemampuan pikirannya untuk menjalani dan menyiasati hidup serta hubungan sosialnya sehingga dapat survive sampai sekarang. Manusia berkembang dengan tantangan geografis dan demografis yang dihadapinya. Berbagai fenomena kehidupan fisik dan sosial telah membuat manusia semakin mampu menggunakan kemampuan otak dan pikirannya secara maksimal. Demikian pula rasa keingintahuan manusia semakin berkembang dan pada akhirnya melahirkan ilmu dan teknologi yang senantiasa diarahkan kepada kepentingan manusia, mengabdi kepada kemanusiaan, dan pelestarian lingkungan hidup.
Manusia mampu mengantisipasi jarak perjalanan dengan teknologi transportasi darat, laut dan udara. Bahkan manusia mampu menginjakan kaki di luar angkasa. Begitu pula dengan kemajuan di bidang biologi terapan seperti kedokteran, manusia mampu mengidentifikasi, mendiagnosa, dan mengobati berbagai penyakit yang diderita manusia, mulai dari yang paling ringan sampai yang tergolong berat. Kemajuan di bidang bio-teknologi seperti rekayasa genetika yang sangat dirasakan manfaatnya bagi manusia dalam ketersediaan bahan makanan (food). Berbagai kemajuan di bidang teknik, pemanfaatan energi, dan perlindungan terhadap bencana alam telah ditemukan manusia dengan ilmu dan teknologi yang dimilikinya. Demikian pula teknologi di bidang pengelolaan informasi dan komunikasi yang membawa kemudahan luar biasa bagi manusia dan berpengaruh bagi hampir seluruh segi kehidupan manusia. Semua ini dimotori oleh dukungan pandangan positivisme-empirik yang benar-benar telah membawa kemajuan pesat bagi peradaban manusia.
Dari tahun ke tahun, kemampuan manusia beradaptasi dengan lingkungannya semakin menunjukkan kemajuan. Pelbagai pertanyaan yang tadinya menjadi masalah yang tak terpecahkan, kini perlahan-lahan telah dijawab manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbaga kemudahan hidup pun diraih manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja berhasil memecahkan masalah-masalah yang ada tetapi juga telah memanjakan kehidupan manusia.
Namun demikian, kemajuan tersebut juga membawa pergeseran nilai sosial dan budaya dalam masyarakat. Pergeseran yang kerapkali dinilai justru membahayakan kehidupan manusia sendiri dalam berbagai aspek. Masalah-masalah baru pun bermunculan. Positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value memang telah membawa kemajuan peradaban manusia di satu sisi, namun di sisi yang lain justru memicu lahirnya kekacauan, krisis, dan chaos yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia. Eksploitasi manusia yang berlebihan terhadap alam telah menyebabkan bencana yang merenggut banyak nyawa. Begitu pula krisis energi dan kelestarian lingkungan yang semakin memprihatinkan sebagai akibat dari pemanfaatan berlebihan sumber daya alam yang disediakan bumi. Di Indonesia misalnya, dalam kurun lima sampai sepuluh tahun terakhir, telah terasa kekurangan listrik, begitu pula krisis air bersih di kota-kota besar. Pencemaran udara karena polusi kendaraan bermotor, banjir dan tanah longsor yang diakibatkan oleh penggundulan hutan untuk perkebunan besar dan pertambangan serta industri lainnya. Begitu pula ancaman wabah penyakit oleh limbah industri. Belum lagi aspek sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat besar pengaruhnya. Teknologi di bidang medis memang semakin berkembang, namun angka kematian karena penyakit tertentu seperti HIV/AIDS tidak mampu diatasi oleh dokter. Terjadi ketidakseimbangan relasi antara alam dan manusia serta hubungan sosial yang ada. Akibatnya, berbagai gejolak sosial terjadi di mana-mana.
Keberhasilan manusia mencapai puncak kejayaan intelektualitasnya dewasa ini justru menjadi bumerang bagi kehidupan manusia sendiri. Kritik pun bermunculan. Ada sesuatu yang keliru telah dilakukan manusia dalam memajukan kehidupannya melalui ilmu dan teknologi. Kekeliruan itu di antaranya adalah terlalu terkonsentrasinya manusia dalam mengupayakan kemajuan di bidang fisik materil, dan tidak menyeimbangkannya dengan kehidupan yang sosial-spritual. Kesadaran ini dibangun dari keyakinan bahwa jika terjadi keseimbangan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat positivistik itu diimbangi oleh kemajuan di bidang sosial, budaya, dan spritual, maka manusia akan mampu menjalani kehidupannya secara lebih baik. Manusia akan bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan alam dan melestarikannya untuk generasi berikutnya. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang syarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Dengan prinsip-prinsip agama yang dijunjungnya, manusia dipandang akan lebih bisa memaknai hidupnya dengan lengkap dan lebih teratur.

B. Hubungan antara Ilmu dan Agama (Islam, Qur’an?)
Untuk memenuhi keingintahuan manusia tentang bayak hal, ternyata tidak dapat dipenuhi sepenuhnya oleh ilmu pengetahuan biasa saja. Banyak sisi kehidupan manusia yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu dan teknologi. Di sinilah dimensi ruhaniah manusia diisi oleh aspek spritual keagamaan. Manusia memiliki relasi tidak hanya sesama manusia dan lingkungannya, tetapi juga dengan Penciptanya. Aspek keyakinan (iman) seperti ini tidak bisa diuraikan oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Agama memberikan kesejukan tersendiri. Dia memenuhi dahaga bathiniah manusia dengan segala keajaibannya. Demikianlah, manusia menyandingakan ilmu dan agama sebagai tidak hanya sebagai instrumen dalam hidupnya, tetapi juga terdapat di dalamnya dan mengabdi untuk pengembangannya.
Ilmu dan agama adalah dua konsep yang saling melengkapi dan saling membutuhkan. Menurut Quraish Shihab, kata ilmu dengan berbagai derivasinya terulang sebanyak 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. 'Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata 'alam (bendera), 'ulmat (bibir sumbing), 'a'lam (gunung-gunung), 'alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan 'arafa’ (mengetahui)' a'rif (yang mengetahui), dan ma'rifah (pengetahuan).[1]
Banyak argumentasi dan bukti yang mendukung akan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an misalnya menunjukkan betapa mulia dan tinggi kedudukan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.

ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran ( Az-Zumar: 9)

#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Mujaadalah: 11)

4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès?
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (An-Nahl: 43)

Anjuran untuk memiliki atau menguasai ilmu pengetahuan bahkan diperjelas Al Qur’an agar terus-menerus ditambah kapasitas dan tingkatannya. Demikianlah Al Qur’an mempertingatkan manusia untuk terus belajar dan belajar, menambah pengetahuan. Al Qur’an adalah Kitab Suci yang tidak hanya membicarakan masa lalu, masa kini, tetapi juga masa depan. Tantangan yang dihadapi manusia (termasuk umat Islam) semakin besar, karena itu diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi pula. Dan dengan pengetahuan yang dimilikinya, manusia dianjurkan untuk mengajarkannnya kepada manusia lainnya.
4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (At-Taubah: 122).

n?»yètGsù ª!$# à7Î=yJø9$# ,ysø9$# 3 Ÿwur ö@yf÷ès? Èb#uäöà)ø9$$Î/ `ÏB È@ö6s% br& #Ó|Óø)ムšøs9Î) ¼çmãômur ( @è%ur Éb>§ ÎT÷ŠÎ $VJù=Ïã
Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Thaha: 114).

Menurut Al-Qur’an, ilmu dapat dibedakan atas dua macam, yakni ilmu ladunni[2] dan ilmu kasbi. Ilmu ladunni adalah ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia. Ilmu kasbi adalah ilmu yang diperoleh karena usaha manusia. Pembagian ini menurut Quraish Shihab didasarkan atas adanya keterbatasan manusia untuk mengetahui entitas yang ”ada” tetapi wujudnya tidak tampak.[3]



Kemunculan dan Kemunduran Filsafat Islam
Pengetahuan tidak sama dengan ilmu, karena ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Filsafat adalah dasar pijakan ilmu. Berbagai disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini ruang kajian filsafat menjadi lebih sempit dan sektoral. Pada masa transisi ini ilmu tidak mempermasalahkan lagi unsur etika secara keseluruhan, namun terbatas pada unsur-unsur praktis guna memenuhi hajat hidup manusia. Meskipun demikian secara konseptual, ilmu masih menyandarkan dirinya pada norma filsafat.
Pada tahap perkembangan lebih lanjut, ilmu menyatakan dirinya bebas dari filsafat dan berkembang berdasarkan penemuan ilmiah, sesuai dengan tabiat alam apa adanya. Pada tahap ini perkembangan ilmu tidak lagi berdasarkan metode normatif dan deduktif, tetapi menggunakan kombinasi dari metode deduktif dan induktif, yang dihubungkan oleh pengujian hipotesis, yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verificative.
Auguste Comte (1798–1857) membagi perkembangan pengetahuan ke dalam tiga tahap, yaitu : tahap religius, metafisik dan positif. Pada tahap pertama postulat ilmiah menggunakan azas religi, sehingga ilmu merupakan penjabaran (deduksi) dari ajaran agama. Pada tahap kedua postulat ilmiah didasarkan pada azas metafisika, yaitu keraguan mengenai eksistenis obyek yang ditelaah. Pada tahap ketiga perkembangan ilmu, dilakukan pengujian positif terhadap semua yang digunakan dalam proses verifikasi yang obyektif.
Munculnya pemikiran kritis di kalangan ilmuwan Muslim melahirkan konsep yang disebut filsafat Islam. Istilah ini menjadi demikian polemik di antara sesama ilmuwan muslim dan ilmuwan dan orientalis Barat. Banyak perdebatan penting dan krusial meyangkut makna dan nilai penting filsafat Islam bagi peradaban Islam sendiri. Tennemann dan E. Renan misalnya bersikap skeptis terhadap kemandirian filsafat Islam.[4] Para orientalis juga menuduh bahwa filsafat Islam itu tidak lain dari filsafat Yunani yang ditulis dalam bahasa Arab atau filsafat Yunani yang diislamkan.[5]
Materi yang dibicarakan dalam filafat Islam memang di antaranya sama dengan materi yang dibahas dalam filsafat Yunani. Namun di tangan para filosof muslimlah mencapai kesempurnaan dan kedalaaman filsafatnya. Tentu saja dengan maksud yang berbeda dari filsafat Yunani. Beberapa contoh dapat dikemukakan misalnya filsafat emanasi[6] Plotinus mencapai taraf kedalaman dan kesempurnaan tingkat tinggi setelah dielaborasi oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sejarawan menempatkan Al-Kindi (796–873 M) sebagai filosof Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ia dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dan agama. Filsafat diartikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs’an al-haqq). Sementara agama, menurut Al kindi, juga menjelaskan yang benar. Keduanya membahas yang benar. Filsafat dalam pembahasannya mencapai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai argumen-arumen rasional yang dikenal sebagai salah satu metode pemikiran dalam filsafat.[7]
Ibnu Al-Nadhim mendudukkan Al-Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam (natural philosophy). Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti geometri, aritmatika, astronomi, musik, logika dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai penterjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab. Nama Al-Kindi sangat masyhur di Eropah pada abad pertengahan. Bukunya yang telah disalin kedalam bahasa Latin di Eropah berjudul De Aspectibus berisi uraian tentang geometri dan ilmu optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron dan Ptolemeus. Salah satu orang yang sangat kagum pada berbagai tulisannya adalag filosof kenamaan Roger Bacon[8].
Meskipun pada beberapa hal Al-Kindi sependapat dengan Aristoteles dan Plato, namun dalam hal-hal tertentu Al-Kindi memiliki pandangan tersendiri. Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa waktu dan benda adalah kekal. Dan untuk membuktikan hal tersebut Al-Kindi telah menggunakan pendekatan matematika. Al-Kindi tidak sepaham pula dengan Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa bentuk merupakan sebab dari wujud, serta pendapat Plato yang menyatakan bahwa cita bersifat membiakkan. Menurut Al-Kindi alam semesta ini merupakan sari dari sesuatu yang wujud (ada). Semesta alam ini merupakan kesatuan dari sesuatu yang berbilang, ia juga bukan merupakan sebab wujud.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhamad Iqbal.
Al-Farabi (870 – 950 M) sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan Al-Farabi ke dalam Bahasa Arab. Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Al Farabi dianggap sebagai filosof Islam yang sangat bersungguh-sungguh dalam upayanya memurnikan tauhid dalam teologi dan filsafat Islam. Menurut al-Farabi, kalau Tuhan, Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya yang tidak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diri-Nya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa. Di samping itu Al-Farabi juga dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.[9]
Kontribusi lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklassifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al-Farabi mengklassifikasi ilmu kedalam tujuh cabang yaitu: logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu fiqhi (hukum).
Para orientalis lainnya pada akhirnya mengakui eksistensi filsafat Islam. Leon Gauthier, E. Brehier, dan Dugat mengakui keberadaan filsafat Islam yang mempunyai karakterisitik tersendiri. Mereka menilai bahwa Islam tidak memerangi ilmu dan filsafat. Ajaran Islam dalam berbagai aliran teologinya memungkinkan lahirnya pemikiran filosofis yang khas. Rasionalisme Ibnu Sina yang dinilai sebagai hasil kreasi baru dan unik. Begitu pula aliran ilmu kalam seperti Mu’tazila dan al-Asy’ariyah juga merupakan hasil rasio Arab.[10]
Sejarah mencatat bahwa bukan saja para ilmuwan dan orientlis Barat yang menentang eksistensi dan pemikiran filsafat Islam. Di kalangan ilmuwan muslim sendiri tidak kurang mengkritik hasil pemikiran filsafat yang dianggap dipengaruhi oleh metode berpikir Yunani. Salah seorang yang sangat terkenal di antara yang menantang itu adalah al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali tidak sependapat mengenai berbagai konsep pemikiran filsafat Islam, terutama dalam tiga hal:
1. Alam qadim dalam arti tak bermula dari zaman
2. Pembangkitan jasmani tak ada
3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.[11]

            Harun Nasution menjelaskan kritik tajam al-Ghazali terhadap tiga konsep utama pemikiran filsafat Islam tersebut. Konsep alam qadim  membawa  kepada  kekufuran  dalam  pendapat al-Ghazali  karena  qadim  dalam filsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan  dalam  zaman  yaitu  tidak pernah  tidak  ada  di  zaman  lampau.  Dan  ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka  syahadat dalam  teologi  Islam  adalah:  la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim,  maka  alam  adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan.
            Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme.  Politeisme  dan ateisme  jelas  bertentangan  sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid yang sebagaimana  dilihat di atas para filsuf mengusahakan  Islam  memberikan  arti semurni-murninya. 
            Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu. Misalnya ayat 78-79 dari surat Yasin:
z>uŽŸÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur ¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷ÕムzN»sàÏèø9$# }Édur ÒOŠÏBu ÇÐÑÈ ö@è% $pkŽÍósムüÏ%©!$# !$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§tB ( uqèdur Èe@ä3Î/ @,ù=yz íOŠÎ=tæ 
 
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur luluh?"
79. Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.
 
                Maka pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat tidak adanya  pembangkitan  jasmani dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.
 
            Pengkafiran tentang masalah  ketiga,  Tuhan  tidak  mengetahui perincian  yang  ada  di alam juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat  dalam  al-Qur'an. Ayat  59 dari surat al-An'am menyebutkan: 
 
¼çnyYÏãur ßxÏ?$xÿtB É=øtóø9$# Ÿw !$ygßJn=÷ètƒ žwÎ) uqèd 4 ÞOn=÷ètƒur $tB Îû ÎhŽy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur 4 $tBur äÝà)ó¡n@ `ÏB >ps%uur žwÎ) $ygßJn=÷ètƒ Ÿwur 7p¬6ym Îû ÏM»yJè=àß ÇÚöF{$# Ÿwur 5=ôÛu Ÿwur C§Î/$tƒ žwÎ) Îû 5=»tGÏ. &ûüÎ7B 
 
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"
 
            Sanggahan keras Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat Yunani, terutama terhadap Aristoteles dan Plato, serta terhadap filosof muslim seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi, memberi kontribusi bagi kemunduran perkembangan pemikiran Islam. Kritik Al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian Timur yang berpusat di Baghdad menjauhi filsafat. Jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah melalui filsafat tetapi tasawuf.[12]
            Sebelum zaman Al-Ghazali, telah muncul teologi baru yang menentang teologi rasional Mu’tazilah. Teologi ini diperkenalkan oleh Al-Asy’ari (873-935) yang pada mulanya adalah tokoh teologi rasional.[13] Al-asy’ari meninggalkan paham rasional Mu’tazilah dan memperkenlakan paham baru yang kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Asy’ari.
            Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari bercorak  tradisional.  Corak  tradisionalnya   dilihat  dari hal-hal:
1.    Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan filosofis.
2.    Karena akal lemah manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis.
3.    Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum  alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan.[14]
 
            Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada berkembangnya   pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali, teologi  tradisional  inilah yang  berkembang  di dunia Islam bagian Timur. Tidak  mengherankan  kalau  sesudah  zaman al-Ghazali  ilmu  dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah  dan  filsuf-filsuf Islam.
Di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut. Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.

Ibn Tufail (w. 1185 M) menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina.[15] Filosof muslim lain yang juga menentang pandangan Al-Ghazali adalah Ibn Rusyd (1126-1198).
Menurut Harun Nasution, kemunduran filsafat di Dunia Islam Timur Sunni salah satunya dipicu oleh ajaran tarekat tasawuf yang hanya mengutamakan daya rasa yang berpusat di kalbu dan meninggalkan daya nalar yang terdalam dalam akal. Faktor lainnya adalah berkembangnya aliras Al-Asy’ari yang memberikan kedudukan lemah pada akal. Di Dunia Islam syiah, filsafat Islam justru berkembang dengan pesat, karena mereka menganut teologi Mu’tazilah yang menempatkan akal sebagai bagian penting dalam kehidupan manusia.

Metode Pendekatan dalam Pemikiran Islam
Muhammad Abid al-Jabiri memperkenalkan tiga pendekatan utama dalam khazanah pemikiran Islam yang dimaksudkan sebagai analisis kritis terhadap nidham al-ma'rifah (epistemologi) dalam pemikiran dan kebudayaan Islam. Tiga pendekatan yang dimaksud adalah bayani, irfani, dan burhani.[16]
1. Pendekatan Bayani
Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Teks sucilah yang memiliki ototitas penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran. Rasio hanya berfungsi sebagai pengawal bagi teramankannya otoritas teks tersebut.
Pendekatan bayani merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Adapun akal hanya menempati kedudukan sekunder yang bertugas menjelaskan dan membela teks yang ada. Dengan kata lain, kaum bayani hanya bekerja pada dataran teks (nidham al-kitab), bukan pada dataran akal (nidham al-'aql). Oleh karenanya, kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa, baik pada dataran gramatikal dan struktur (nahwu-sharaf) maupun sastra (balaghah: bayan, mani', dan badi').
Dalam konteks ini, bahasa tidak semata-mata sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai media transformasi budaya. Bahasa Arab sebagai media transformasi budaya Arab (termasuk dalam pengertian mode of thought dalam tradisi Arab) dan membentuk kerangka rujukan asasi kaum bayani. Salah satu implikasinya, lafad dan makna mendapatkan posisi yang cukup terhormat, terutama dalam diskursus ushul fiqh. Dalam ilmu kalam, diskursus tentang lafad - makna dapat dijumpai dalam perdebatan tentang "kemakhlukan Alquran", atau tentang sifat-sifat Allah (antara itsbat al-sifat dan ta' til), dan juga tentang takdir.
Bayani adalah metode pemikiran yang menekankan otoritas teks, baik secara langsung maupun tidak, yang dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali
melalui inferensi.

1. Secara langsung berarti: teks diperlakukan sebagai pengetahuan jadi
2. Secara tidak langsung: teks diperlakukan sebagai bahan mentah yang memerlukan tafsir dan penalaran
Meskipun memerlukan tafsir dan penalaran, tidak berarti rasio atau akal bebas menentukan makna, melainkan harus tetap bersandar pada teks.
2. Pendekatan Irfani
Pendekatan bayani adalah metodologi berpikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan. Berbeda dengan sasaran bidik bayani yangbersifateksoteris, sasaran bidik irfani adalah aspek esoteris atau bagian batin dari teks. Rasio digunakan untuk menjelaskan pengalaman keagamaan.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada pengalaman batiniyyah, dzauq, qalb, wijdan, basirah, dan intuisi. Pendekatan irfani (pengetahuan) ini menekankan hubungan antara subjek dan objek secara direct experience, tidak lewat medium bahasa atau teks dan tidak lewat logika rasional, sehingga objek menyatu dengan dalam diri subjek. Objek hadir dalam diri subjek (al-'ilm al-huduri).
Pengetahuan irfani sebenarnya adalah pengetahuan pencerahan (iluminasi), sebagaimana dikembangkan dalam filsafat isyraqi (al- hikmah al-isyraqiyyah). Di sini perlu dibedakan dengan filsafat emanasi yang cenderung pantheistik. Filsafat isyraqi (iluminasi) menyatakan bahwa pengetahuan diskursif (al-hikmah al-bahthiyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyyah). Dzauq berfungsi menyerap misteri segala esensi yang menimbulkan pengetahuan dan rasa damai pada jiwa yang resah-gelisah dan membuang skeptisisme. Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqiyyah (al-haqq al-yaqin).
Pengetahuan irfani dapat dicapai melalui tiga tingkatan. Pertama, tahap membersihkan diri dari ketergantungan terhadap dunia (al- ihsan wa al-ikhlas). Kedua, ditandai dengan pengalaman-pengalaman eksklusif menghampiri dan merasakan pancaran nur Ilahi. Ketiga, ditandai dengan perolehan pengetahuan yang seolah-olah tak terbatas dan tak terikat oleh ruang dan waktu, karena bersatunya al-'aql, al-'aqil, dan al-ma'qul.
Pengalaman bathiniyyah Rasulullah dalam menerima wahyu Alquran merupakan contoh konkret dari pengetahuan irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi selama ini, pengetahuan irfani yang akan dikembangkan mungkin dalam kerangka ittiba' al-rasul (mengikuti jejak Rasulullah).

3. Pendekatan Burhani
Pendekatan burhani merupakan model berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan pengalaman spiritual bahkan hanya dapat diterima jika sesuai dengan aturan logis.
Pendekatan burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Pendekatan ini menjadikan realitas teks maupun konteks sebagai sumber kajian. Dalam pendekatan burhani tercakup metode ta'lili yang berupaya memahami realitas teks berdasarkan rasionalitas; dan metode istishlahi yang berusaha mendekati dan memahami realitas objektif atau konteks berdasarkan filosofi. Realitas tersebut meliputi realitas alam (realitas kauniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtima`iyyah) maupun realitas budaya (tsaqafiyyah). Dalam pendekatan ini, teks dan konteks - sebagai dua sumber kajian - berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap realitas kehidupan sosial- keagamaan dan sosial keislaman menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (ijtima`iyyah), antropologi (antrupulujiyyah), kebudayaan (tsaqafiyyah), dan sejarah (tarikhiyyah).

Ketiga pendekatan dalam pemikiran Islam tersebut telah membesarkan berbagai disiplin ilmu. Pendekatan bayani mengembangkan ilmu fiqh (hukum) dan teologi. Pendekatan irfani telah menghasilkan konsep-konsep penting dalam tasawuf[17]. Pendekatan burhani telah meletakkan filsafat Islam dalam puncak pencapaiannya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada pendekatan bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks- yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik.
Kelemahan pendekatan irfani adalah kenyataan bahwa istilah-istilah intelektualnya seperti ilham, kasyf, dlamir, psikognosis telah terlanjur terbakukan dan terinstitusionalisasi dalam tarekat2 yang "mandiri" dengan wirid-wirid tertentu yang menyertainya.
Kelemahan pendekatan burhani terletak pada kenyataan meski ia rasional tetapi masih lebih didasarkan atas model pemikiran induktif-deduktif. Kedua metode tersebut sangat tidak memadai dalam pemikiran kontemporer.[18]



Bahan Bacaan

Ash-Shadr, Muhammad Baqir. 1992. Falsafatuna (terjemahan M. Nur Mufid bin Ali). Bandung: Mizan.

Beilharz, Peter. 2003. Teori-teori Sosial (terjemahan Sigit Jatmiko). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fay, Brian. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer (terjemahan M. Muhith. Yogyakarta: Jendela.

Nasr, Seyyed Hossei. 1997. Pengetahuan dan Kesucian (terjemahan Suharsono). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Praja, J.S. 2002. Filsafat dan metodologi Ilmu dalam Islam. Jakarta: Teraju.

Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Bacaan Lain:

Haeruddin. Sumbangan Peradaban Islam terhadap Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan.

Hidayat, Syamsul. Pendekatan Bayani.


Kamil, Zainun. Kekuatan dan Kelemahan Paham Asy’ari sebagai Doktrin Akidah. http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Asyari1.html

Mas’udi, Masdar F. Telaah Kritis atas Teologi Mu’tazilah.

Muallim, H. Moch. Tradisi dan Modernitas Perspektif Al-Jabiri.

Nasution, Harun. Filsafat Islam.

Nasution, Harun. Tasawuf. dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Ed. Budhy Munawar-Rachman). Jakarta: Yayasan Paramadina.

Rakhmat, Jalaluddin. Antara Sukma Nurani dan sukma Dhulmani.

Shihab, Quraish. Ilmu dan Teknologi.


[1]Quraish Shihab dalam tulisannya: “Ilmu dan Teknologi”, yang dimuat pada http://media.isnet.org/islam/Quraish/Wawasan/Iptek1.html, menjelaskan lebih lanjut mengenai hubungan penting antara agama dan ilmu. Pandangan Al-Qur’an tentag ilmu dan teknologi dapat dijelaskan dalam makna yang terkandung dalam wahyu pertama diterima Nabi Muhammad SAW. Kata-kata pertama yang disampaikan oleh Malaikat Jibril ketika menyampaikan lima ayat pertama Al-Qur’an dari Surat Al-Alaq adalah “Iqra” yang berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
[2] Jalaluddin Rakhmat dalam tulisannya: “Antara Sukma Nurani dan Sukma Dhulmani” yang dimuat pada http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Nurani.html, menguraikan kesempurnaan dan kemuliaan yang dimiliki ilmu ladunni. Ilmu ladunni memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga dapat menjadi sumber atau wadah ma’rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah. Ilmu ladunni hanya dimungkinkan dicapai jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, memperbaiki akhlak melalui hidup zuhud yang penuh taqwa, wara’ serta dzikir yang kontinyu.

[3] Keterbatasan yang dimiliki manusia untuk mengetahui entitas wujud yang tidak tampak hendaknya tetap diyakini keber”ada”annya oleh manusia. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Haqqah (38-39): “Aku bersumpah dengan yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat.” Menurut Quraish Shihab, ayat ini menunjukkan pada kita bahwa objek ilmu meliputi materi dan non materi, fenomena dan non-fenomena. Ada wujud yang tidak dapat diindera bahkan tidak diketahui oleh mansia. Dalam perkembangan selanjutnya, sains mutakhir lebih banyak mengkaji objek-objek yang bersifat materi yang menyebabkan mereka mengingkari realitas yang tidak dapat dibuktikan di alam materi. Sementara ilmu-ilmu Islami mencakup objek materi dan non-materi. Para sufi memperkenalkan beberapa jenis ilmu yang didasarkan atas ayat-ayat Al-Qur’an, yakni ilmu yang mereka sebut al-hadharat Al-Ilahiyah al-khams (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud. Kelima hal tersebut adalah: (l) alam nasut (alam materi), (2) alam malakut (alam kejiwaan), (3) alam jabarut (alam ruh), (4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan (5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).

[4] Lihat Sirajuddin Zar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada. P. 8 – 9. Beberapa alasan dan pandangan para orientalis yang menyebabkan mereka ragu akan lahirnya filsafat sendiri dalam kalangan Islam, di antaranya (1) Adanya kitab suci Al-Qur’an yang menegasikan kebebasan berpikir, (2) Karakter bangsa Arab yang dinilai tidak mungkin berfilsafat, dan (3) Bangsa Arab adalah ras Semit (al-Samy), dipandang ras rendah bila dibandingkan dengan bangsa Yunani ras Aria (al-Ary). Ras Semit dinilai memiliki daya nalar yang lemah dan tidak mampu berfilsafat, yang hanya dimiliki oleh ras Arya.

[5] Ibid, hal. 11

[6] Plotinus menyatakan bahwa yang ada hanya Yang Esa (The One), sedangkan yang selainnya adalah bayangan dari Yang Esa (panteisme).
[7] Harun Nasution. Filsafat Islam.
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/FilsafatIslam3.html. Lebih lanjut Harun Nasution menjelaskan pandangan Al-Kindi tentang ‘yang benar’. Menurut pemikiran filsafat, kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak dilarang, tetapi wajib.

Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals). Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis.

[8] Lihat Praja. 2002. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. Jakarta: Teraju.
[9] Ibid.
[10] Sirajuddin Zar. Op.Cit. Hal. 13. Bandingkan dengan penjelasan yang lebih rinci dari Harun Nasution tentang Mu’tazilah dalam tulisannya “Filsafat Islam” yang dimuat pada http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/FilsafatIslam3.html, tentang teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah: (1) Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam memahami wahyu. (2) Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran. (3) Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.

[11] Lihat Harun Nasution. Ibid.
[12] Harun Nasution. Op.cit.
[13] Lihat Sirajuddin Zar. Op.Cit. Hal. 184.
[14] Harun Nasution. Op.cit.
[15] Sirajuddin Zar. Op.cit. Hal 182.
[16] Lihat Syamsul Hidayat: “Pendekatan Bayani”. Pada:
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=129606&kat_id=16. Bandingkan dengan penjelasan singkat H. Moch. Muallim dalam tulisannya: “Tradisi dan Modernitas Perspektif Al-Jabir”i. Muallim mendeskripsikan bahwa untuk menjawab tantangan modernitas, Al-Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema al-Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu : Pertama, disiplin “eksplikasi” (‘ulum al-bayan) yang didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme (‘ulum al’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi umumnya.


[17] Lihat Harun Nasution: “Tasawuf”. Dia menjelaskan bahwa tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya. Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekati-Nya adalah roh yang suci. Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan
[18] Lihat Syamsul Hidayat. Op. cit.

0 komentar: